Pemerintah Indonesia tengah merencanakan implementasi kebijakan yang mewajibkan pembelian gas LPG 3 kilogram melalui Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Langkah ini diharapkan dapat memastikan penyaluran subsidi energi tersebut tepat sasaran dan mengurangi potensi penyalahgunaan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa kebijakan ini akan mulai berlaku pada tahun 2026 mendatang. Hal ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi LPG bersubsidi agar hanya dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Bahlil juga menyampaikan bahwa rencana ini masih dalam tahap penyusunan dan koordinasi dengan berbagai kementerian terkait. Ini mencakup data dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memastikan bahwa hanya masyarakat yang berhak yang menerima akses terhadap LPG bersubsidi.
Rincian Kebijakan dan Tujuan yang Ingin Dicapai
Kebijakan ini berfokus pada pembelian LPG 3 kg yang akan dibatasi hanya untuk kelompok masyarakat yang termasuk dalam desil 1 sampai 4. Desil ini mencakup 40 persen masyarakat dengan kesejahteraan terendah, sehingga diharapkan dapat mencegah masyarakat yang lebih mampu dari mendapatkan subsidi tersebut.
Namun, kepastian mengenai pelaksanaan penggunaan KTP masih belum final dan perlu koordinasi lebih lanjut. Bahlil menjelaskan bahwa semua data dan kebijakan harus ditindaklanjuti dengan cermat agar penerima subsidi benar-benar dapat teridentifikasi dengan jelas.
Pemerintah sebelumnya juga telah menerapkan kebijakan yang membatasi penjualan LPG 3 kg hanya di pangkalan resmi, dengan syarat penggunaan KTP. Namun, kebijakan ini menghadapi tantangan, termasuk kelangkaan gas dan antrean panjang yang dialami masyarakat.
Analisis Terhadap Kebijakan Penggunaan KTP dalam Pembelian LPG
Beberapa analis menilai kebijakan penggunaan KTP sebagai syarat membeli LPG 3 kg dapat dipahami, asalkan aturan mainnya jelas dan terukur. Misalnya, perlu ada batasan mengenai jumlah LPG yang dapat dibeli per KTP setiap bulannya, untuk mencegah penyalahgunaan oleh oknum tertentu.
Masalah nyata yang dihadapi bukan hanya soal KTP, tetapi juga ketersediaan LPG 3 kg di pasar. Ini penting karena jumlah pengalokasian dalam Rencana Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) untuk LPG 3 kg tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya.
Ronny P. Sasmita, seorang analis senior, menyarankan agar penggunaan KTP disertai dengan data makro yang valid dari pemerintah untuk memastikan bahwa subsidi disalurkan pada kelompok yang benar-benar membutuhkan. Hal ini penting agar LPG bersubsidi tidak jatuh ke tangan yang salah.
Kendala dan Tantangan dalam Pelaksanaan Kebijakan
Jika pemerintah hanya memberikan subsidi kepada warga yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), ada risiko bahwa masyarakat rentan yang tidak terdaftar akan terlewatkan. Oleh karena itu, penting untuk membuka mekanisme pengajuan bagi masyarakat yang layak namun belum terdaftar.
Selain itu, banyak masyarakat miskin yang belum memiliki KTP dan memerlukan subsidi. Untuk itu, pemerintah perlu menyediakan alternatif, seperti penggunaan surat keterangan domisili, sehingga akses terhadap energi bersubsidi tetap tersedia.
Pangkalan sebagai titik distribusi resmi berfungsi untuk memastikan subsidi tepat sasaran dan mencegah kebocoran. Dengan pencatatan yang baik berbasis KTP, volume distribusi dapat terpantau dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Solusi dan Rekomendasi untuk Memastikan Distribusi Tepat Sasaran
Beberapa ahli merekomendasikan agar distribusi LPG 3 kg tidak hanya dibatasi di pangkalan, tetapi juga di retail yang terdaftar. Dengan adanya pendataan dan kuota yang jelas, pencegahan terhadap monopolitas distribusi dapat dilakukan.
Model distribusi yang lebih terbuka juga dapat membantu memastikan bahwa konsumen mendapatkan akses yang sama. Misalnya, pembayaran kuota per satu ritel berdasarkan lokasi penjualan dapat mencegah terjadinya kelangkaan di daerah yang benar-benar membutuhkan.
Ronny menekankan bahwa pengawasan distribusi harus ketat untuk menghindari penyalahgunaan subsidi. Ini mengharuskan adanya kolaborasi antara distributor dan ritel untuk mendata konsumen dan memastikan kontrol terhadap aliran LPG bersubsidi.











