Ombudsman Republik Indonesia (RI) menemukan adanya ketidaksesuaian antara kontrak dan realisasi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Temuan ini mengungkapkan bahwa penyediaan bahan makanan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak, yang sangat merugikan anak-anak yang menjadi penerima manfaat program ini.
Dalam laporan yang dikeluarkan, misalnya, di Bogor terungkap bahwa Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) menerima beras berkualitas medium meskipun dalam kontrak disebutkan beras premium. Ini menjadi sebuah penyimpangan yang seharusnya tidak terjadi dalam pengadaan bahan makanan untuk anak-anak.
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi KU III Ombudsman RI, Kusharyanto, menegaskan bahwa situasi ini adalah bentuk penyimpangan prosedur. Ia menyesalkan bahwa cek kualitas yang seharusnya dilakukan oleh SPPG tidak berlangsung dengan baik, sehingga kualitas bahan baku yang diterima tidak sesuai harapan.
Ulasan Lebih Dalam Mengenai Ketidaksesuaian Kontrak dalam MBG
Tanpa adanya verifikasi yang ketat, masalah ini tidak terdeteksi. Kontrak seharusnya menjadi panduan utama, tetapi nyatanya banyak yang mengabaikan ketentuan yang tertera. Hal ini menciptakan ketidakpuasan dan mengancam keberlanjutan program yang ditujukan untuk meningkatkan gizi anak-anak.
Akibat dari ketidaksesuaian ini sangat serius; negara membayar untuk beras premium tetapi yang diterima anak-anak adalah kualitas yang jauh di bawah standar. Hal ini berimplikasi langsung pada kualitas makanan yang disajikan dalam program MBG.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menambahkan bahwa situasi ini memperburuk kualitas sajian yang disediakan. Seharusnya, pangan yang berkualitas baik dapat meningkatkan kesehatan dan tingkat kecerdasan anak-anak, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Masalah Lain yang Muncul dalam Pengadaan Bahan Makanan
Temuan Ombudsman tidak berhenti di situ; mereka juga mencatat banyak masalah dalam pengadaan bahan makanan lainnya. Di beberapa dapur, sayuran yang diterima dalam kondisi tidak segar dan lauk pauk yang datang tidak lengkap. Ketidakpastian ini muncul akibat kurangnya standar yang jelas dalam prosedur pengadaan.
Selain itu, Ombudsman mengidentifikasi masalah dalam proses penetapan mitra yayasan. Dari banyak yayasan yang mendaftar, masih ada ribuan yang menunggu kepastian karena kurangnya standar waktu pelayanan. Hal ini tentu saja menciptakan ketidakpastian hukum dan potensi konflik kepentingan.
Yeka menyampaikan bahwa kondisi ini memperlihatkan perlunya transparansi dalam pengelolaan program berskala nasional. Pengelolaan yang buruk berisiko menimbulkan afiliasi yayasan dengan jaringan politik tertentu, yang dapat berujung pada penyalahgunaan wewenang.
Peran Sumber Daya Manusia dalam Kualitas Program
Sumber daya manusia (SDM) juga menjadi tantangan besar dalam pelaksanaan MBG. Di beberapa daerah, seperti Bogor, honorarium yang dijanjikan kepada staf inti seperti ahli gizi dan akuntan belum dibayarkan tepat waktu, mengakibatkan motivasi kerja menurun. Situasi ini menyebabkan ketidakpuasan di kalangan petugas yang bertugas.
Di lokasi lain, seperti Garut dan Bandung Barat, relawan mengeluhkan beban kerja yang tidak seimbang. Meskipun mereka bekerja keras untuk menyiapkan dan mendistribusikan makanan, kompensasi yang diterima tidak sebanding dengan upaya yang dikeluarkan.
Di tempat lain, guru di daerah seperti Lebong dan Banggai Kepulauan juga harus merangkap tugas sebagai penanggung jawab distribusi. Tanpa dukungan tambahan, situasi ini memperburuk kondisi kerja bagi para pendidik yang tanpa insentif harus mengatur distribusi makanan.
Isu dalam Proses dan Standar Pengolahan Makanan
Proses pengolahan makanan juga menjadi perhatian Ombudsman, khususnya mengenai penerapan standar Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) yang belum dijalankan secara konsisten. Banyak dapur tidak memiliki catatan suhu yang diperlukan dalam sistem pengendalian mutu, yang sangat penting untuk memastikan keamanan produk makanan.
Fakta bahwa terdapat kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di beberapa wilayah menjadi peringatan serius mengenai pentingnya disiplin dalam menerapkan SOP pengolahan makanan. Ini adalah momen yang harus diambil agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Distribusi makanan, yang merupakan tahap akhir dari proses, juga mengalami masalah. Standard holding time yang ditetapkan sering kali dilanggar, berpotensi membahayakan keamanan pangan yang disajikan kepada anak-anak di sekolah.











