Aliansi Korban Wanaartha Life baru-baru ini menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Kementerian Luar Negeri Indonesia. Mereka berusaha menentang tindakan pemilik perusahaan asuransi yang kabur ke luar negeri dan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas.
Dalam aksi tersebut, para korban mengungkapkan kekecewaan dan kesedihan akibat kerugian yang mereka alami. Aksi ini bukan hanya untuk mereka sendiri, tetapi juga untuk menuntut keadilan bagi seluruh nasabah yang ditipu.
Salah satu korban, Alim, tidak dapat menahan emosinya saat menyampaikan tuntutan tersebut. Dia berharap pemerintah segera mengambil tindakan dan menyelesaikan kasus yang sudah berlarut-larut ini.
Tuntutan Deportasi Pemilik Wanaartha Life dari AS
Sejumlah korban berkumpul di depan Kedutaan AS untuk mendesak pemerintah agar segera memproses deportasi tiga pemilik Wanaartha Life yang berada di luar negeri. Pemilik tersebut adalah Evelina Pietruschka, Manfred Pietruschka, dan Rezananta Pietruschka yang diduga bertanggung jawab atas kerugian besar yang dialami oleh nasabah.
Orang-orang yang hadir dalam aksi ini merasa telah dikhianati oleh mereka yang seharusnya melindungi dan mengelola dana mereka dengan baik. Setiap suara di antara mereka menggema dengan satu harapan, yakni keadilan akan segera terwujud.
Banyak dari mereka yang sudah menunggu selama lima tahun untuk mendapatkan kepastian mengenai nasib uang mereka. Menyaksikan pemilik yang kabur tanpa konsekuensi menambah rasa frustrasi mereka terhadap sistem hukum yang ada.
Dampak Kerugian Finansial bagi Nasabah
Kerugian yang dialami oleh para korban bukanlah angka yang kecil. Totalnya mencapai sekitar Rp15,9 triliun, dan jumlah nasabah yang terkena dampak mencapai 29 ribu orang. Banyak dari mereka kini hidup dalam kesulitan akibat hilangnya dana yang seharusnya menjadi jaminan masa depan mereka.
Rosni, salah satu korban, mengungkapkan bahwa ia kehilangan hingga Rp1,2 miliar yang ia tabung untuk masa tuanya. Uang tersebut seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti pendidikan anak-anaknya.
Pernyataan Rosni mencerminkan betapa dramatisnya dampak finansial yang dirasakan para korban. Setiap rupiah yang hilang merepresentasikan harapan yang hancur dan kehidupan yang ketidakpastian.
Pengalaman Emosional Para Korban di Tengah Proses Hukum
Banyak korban mengungkapkan kesedihan mereka dengan air mata. Ia menceritakan bagaimana teman-teman mereka, termasuk satu orang yang meninggal dunia saat menunggu keadilan, bertanya-tanya ke mana arah kehidupan mereka selanjutnya. Proses hukum yang berkepanjangan seolah tidak memberikan harapan nyata.
Ketua Aliansi Korban Wanaartha, Johanes Guntoro, menekankan pentingnya dukungan dari pemerintah. Ia menuntut agar pihak yang terlibat dalam kasus ini bertanggung jawab penuh dan memastikan bahwa tidak ada pemilik yang dapat melarikan diri dari hukuman.
Ia mengungkapkan keinginannya agar proses hukum tidak hanya sebagai formalitas, tetapi benar-benar membawa keadilan bagi korban. Setiap langkah yang diambil oleh pemerintah kini sangat diharapkan untuk memiliki efek nyata.
Kerja Sama antara Indonesia dan AS dalam Penegakan Hukum
Aliansi Korban percaya bahwa kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat sangat penting untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka menyusun tiga poin utama dalam aksi mereka, salah satunya adalah mendorong pemerintah untuk tidak memberikan fasilitas imigrasi atau perlindungan kepada para pelaku.
Dengan adanya kerja sama ini, mereka berharap proses deportasi pemilik Wanaartha Life dapat dipercepat. Keberhasilan ini juga akan menjadi sinyal positif bagi korban lainnya yang mengalami nasib serupa.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin usaha Wanaartha Life, tetapi banyak yang merasa itu belum cukup. Mereka menuntut agar pemerintah lebih berkomitmen dalam melindungi nasabah dan menegakkan hukum dengan tegas.











