Belum lama ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyoroti penurunan signifikan harga batu bara di pasar internasional. Penurunan ini berimbas pada pengeluaran operasional perusahaan yang mengalami kenaikan, sehingga keuntungan yang mereka peroleh menjadi semakin kecil.
Dalam sebuah acara di Jakarta, Bahlil menjelaskan bahwa kondisi ini mencerminkan ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Ketika pasokan batu bara melimpah tetapi permintaan tidak sebanding, maka harga cenderung anjlok dan merugikan banyak pihak.
“Ini supply and demand. Begitu kita terlalu banyak ketersediaan barang, yang terima sedikit, itu pasti harganya anjlok,” tegas Bahlil saat memberikan keterangan pada Minerba Convex 2024. Keterangan ini menunjukkan bahwa dinamika pasar sangat bergantung pada faktor-faktor tersebut.
Peran Indonesia dalam Pasar Batu Bara Global yang Dinamis
Bahlil juga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk mengendalikan harga batu bara dunia. Hal ini karena Indonesia menyuplai 40-49 persen dari total ekspor batu bara global. Dengan posisi ini, peran Indonesia sangat penting dalam menentukan harga di pasar internasional.
Total konsumsi batu bara global sekitar 8-9 miliar ton per tahun. Namun, jumlah yang diperdagangkan hanya berkisar 1,3 hingga 1,4 miliar ton per tahun. Ini menunjukkan bahwa ada gap antara produksi dan konsumi yang seharusnya dimanfaatkan dengan lebih baik.
“Indonesia sendiri di dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025 ditargetkan bisa memproduksi lebih dari 800-900 juta ton batu bara. Sementara untuk ekspor, sekitar 500-600 juta ton,” ujar Bahlil. Data ini memperjelas seberapa besar potensi yang dimiliki Indonesia dalam hal eksploitatif sumber daya batu bara.
Evaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya untuk Optimalisasi Pasokan
Dalam upaya untuk mengoptimalkan pengendalian harga, Kementerian ESDM bersama dengan DPR tengah membahas evaluasi RAKB, agar periode evaluasi yang biasanya dilakukan setiap tiga tahun, menjadi setahun. Tujuannya adalah untuk memberikan fleksibilitas dalam menanggapi dinamika pasar yang cepat berubah.
Bahlil menambahkan, “Dengan memperhatikan volume ekspor, kita harapkan nilai pertukaran batu bara dunia dapat lebih terkontrol dari Indonesia.” Usulan ini merupakan langkah strategis untuk menjaga stabilitas pasar batu bara lokal.
Pada minggu terakhir, harga batu bara Newcastle untuk pengiriman bulan November mengalami penurunan sebesar US$0,6, menjadi US$103,8 per ton. Penurunan ini menunjukkan tren panjang yang juga mencerminkan kerentanan pasar terhadap perubahan permintaan yang tiba-tiba.
Perubahan Harga dan Dampaknya pada Sektor Energi
Tren penurunan harga batu bara ini dapat berimplikasi jauh lebih luas di sektor energi. Harga batu bara yang rendah bisa menguntungkan perusahaan-perusahaan yang bergantung pada sumber energi ini, namun di sisi lain, hal ini juga dapat memperburuk situasi bagi produsen yang mengalami peningkatan biaya operasional.
Sebagai contoh, untuk kontrak pengiriman Desember, harga batu bara kembali melemah menjadi US$106,9 per ton. Hal ini memberikan sinyal bahwa kondisi pasar tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan dalam waktu dekat.
Seiring berjalannya waktu, pasar energi dan energi terbarukan menjadi alternatif yang semakin menarik bagi banyak negara. Oleh karena itu, bagi Indonesia sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar, penting untuk melakukan evaluasi kebijakan yang tepat agar tetap bersaing di pasar global.











