PT Bukit Asam Tbk (PTBA), salah satu emiten BUMN di sektor tambang, mencatatkan penurunan laba bersih yang signifikan mencapai 59% tahun ke tahun hingga mencapai Rp 833 miliar pada semester pertama tahun 2025. Penurunan ini dipicu oleh turunnya harga batu bara di pasaran serta meningkatnya stripping ratio yang berdampak pada biaya produksi secara keseluruhan.
Direktur Keuangan & Manajemen Risiko Bukit Asam, Una Lindasari, mengungkapkan bahwa penurunan harga batu bara yang drastis menjadi salah satu penyebab utama. Selain itu, terdapat kebijakan baru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengharuskan emiten hanya menjual batu bara yang memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan Harga Patokan Batubara (HPB).
Dalam kondisi yang menantang ini, PTBA tetap berupaya meningkatkan kapasitas produksi dan penjualannya. Data menunjukkan bahwa produksi batu bara PTBA mengalami pertumbuhan 16% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai 21,73 juta ton, sementara volume penjualannya juga meningkat sebesar 8% menjadi 21,62 juta ton.
Kondisi Harga Batu Bara dan Kebijakan Baru ESDM
Pertumbuhan yang dialami PTBA di tengah penurunan harga batu bara menunjukkan daya tahan yang cukup signifikan. Kebijakan dari ESDM yang mengatur penjualan batu bara harus sesuaidengan kriteria baru memberikan tekanan tambahan bagi perusahaan yang bergantung pada pasar tersebut. Bagi PTBA, fokus pada pemenuhan regulasi menjadi prioritas agar tidak kehilangan pangsa pasar.
Una menjelaskan bahwa kebijakan tersebut membuat persaingan di industri batu bara kian ketat, karena banyak perusahaan yang harus menyesuaikan diri dengan regulasi baru. Penurunan harga batu bara yang terus berlangsung membuat emiten harus lebih cermat dan efisien dalam mengelola biaya agar tetap dapat bertahan.
Pendekatan strategis diperlukan dalam menghadapi situasi ini. Menurut Una, diskusi dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan kontraktor, menjadi langkah penting untuk mengoptimalkan biaya produksi dan mempertahankan daya saing di pasar.
Tantangan di Sektor Produksi dan Biaya Operasional
Dari sisi operasional, meskipun terdapat peningkatan dalam volume produksi dan penjualan, biaya produksi juga mengalami kenaikan sekitar 3% tahun ini. Kenaikan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk naiknya royalti serta biaya bahan bakar yang meningkat seiring dengan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan B40.
Selain itu, kenaikan biaya transportasi yang mengikuti kontrak dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) juga memberikan beban tambahan bagi perusahaan. KAI menerapkan kebijakan kenaikan biaya transportasi sebesar 4% setiap tahunnya, sehingga berdampak pada total biaya yang harus ditanggung PTBA.
Melihat kondisi ini, Una menyatakan bahwa perusahaan akan terus melakukan langkah-langkah efisiensi untuk menekan biaya. Negosiasi dengan semua kontraktor jasa pertambangan menjadi salah satu strategi utama dalam mengurangi pengeluaran serta meningkatkan profitabilitas perusahaan.
Inisiatif Efisiensi dan Optimalisasi Produksi
Untuk menghadapi tantangan yang ada, PTBA berkomitmen dalam implementasi inisiatif efisiensi dan optimalisasi produksi. Una menjelaskan bahwa tim di lapangan sudah melakukan beberapa langkah untuk meningkatkan efisiensi operasional. Mengoptimalkan proses penambangan merupakan salah satu fokus utama perusahaan.
Selain itu, efektivitas manajemen biaya juga menjadi perhatian khusus. Perusahaan berupaya menahan berbagai pengeluaran untuk menciptakan efisiensi keseluruhan, termasuk dalam hal operasional dan pemeliharaan. Hal ini bertujuan untuk meringankan dampak dari penurunan harga batu bara yang terjadi saat ini.
Inisiatif yang berorientasi pada efisiensi bukan hanya berdampak positif pada sisi keuangan, tetapi juga membantu perusahaan dalam mempertahankan posisinya di industri yang sangat kompetitif ini. Keberhasilan dalam menekan biaya produksi akan menjadi kunci untuk mengoptimalkan performa di tahun-tahun mendatang.











